Maman, Bokis 2, saya

PERJUMPAAN DENGAN PENULIS “BOKIS” MAMAN SUHERMAN

Maman, Bokis 2, saya
Maman, Bokis 2, saya
BOKIS. Generasi saya kenal kata ini dengan arti ‘bohong’. Tapi ternyata ini hanya makna sampiran dari arti yang sebenarnya. Maka sungguh beruntung saya bisa kenal dan bertemu dengan Maman Suherman, penulis buku Bokisdan Mata Hati. Yang disebut terakhir adalah sebuah mata acara di Kompas TV, tempat Maman muncul paling tidak seminggu dua kali di layar televisi.
Maman menjelaskan kata ‘bokis’ terdiri dari kata ‘bisa’ dan sisipan ‘ok’. Ini cara generasi 70-an membentuk kata slang. Contoh kata “bisa” setelah disisipi akan menjadi ‘b-ok-is’ dengan penghilangan huruf ‘a’. Artinya bokis adalah ‘bisa-bisaan’ atau ‘bisa-bisanya’. Prinsip yang sama bisa ditemukan dalam ‘bokap’ dll. Bokap misalnya, dari kata ‘bapak’ dan sisipan ‘ok’.
Maman Suherman
Bersama Maman Suherman, Juni 2013
Kalau tidak salah ingat, awal perkenalan kami terjadi pada bulan Agustus 2012. Permintaan kepada dirinya untuk menjadi tamu di obrolan #Twitteriak — sebuah acara tanya jawab di twitter yang saya ciptakan —  tanpa ragu diterimanya, meski Maman pasti tahu apa yang dilakukan #Twitteriak tidak ada seujung kuku dari apa yang Mata Hati. Saya masih ingat, untuk mempertajam isu literasi media perkenalan kami dilanjutkan dengan obrolan lewat telepon. Kala itu, saya jadi tahu ternyata nama Maman Suherman punya cerita unik.  Nama asli pemberian orang tua adalah M. Suherman. M singkatan dari Muhammad. Tapi sejak SMP, M menjadi Maman dan malahan di ijazah tertulis demikian saat pindah dari SMP 6 Makassar ke SMP 1 Sumedang.
Ternyata juga, kami berdua satu almamater beda angkatan. Bukan hanya itu, juga pernah dalam satu bidang industri, baik di TV maupun di periklanan. Ini yang menjadikan saya kerap memanggilnya Abang. Memang dari Maman inilah saya dibimbing untuk tahu dan mengenal banyak hal yang terjadi di industri.
Seperti misalnya tentang berita-berita yang dikemas untuk memoles citra artis. Selain itu ada juga praktik untuk menaikkan popularitas yang ditempuh oleh artis-artis di Indonesia. Semua itu saya ketahui dari obrolan setiap kali bertemu Maman dan kemudian tertuang di buku yang sangat menarik: Bokis.
Senang sekali kalau ternyata buku Bokis pertama disukai pembaca dan kemudian terbit buku keduanya bulan Juni ini. Saya tetap berpikir, gagasan menulis buku Bokis adalah ide brilian dan perlu.
Ingatlah selalu: “Hare gene masih mau dibokisin?” Kalau enggak mau, saatnya mulai membaca karya Maman Suherman ini.
[dam]
Iklan
REPORT THIS AD

TINGGALKAN BALASAN