Sabtu, 28 September 2019

Kuburan massal Korban keganasan DI TII di Jawa Barat


[Laporan Khusus] Kuburan Massal Tapak DI/TII di Tasikmalaya

Bambang Arifianto Senin, 25 Feb 2019, 20:01
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
KONFLIK bersenjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) puluhan tahun lalu memakan ribuan korban jiwa.
Rakyat Jawa Barat ikut menjadi korban di tengah kondisi dilematis, mendukung pemerintah Sukarno-Hatta berarti siap masuk daftar musuh yang diperangi DI.
Begitu pun sebaliknya. Terjebak di tengah situasi sulit, rakyat akhirnya menjadi pihak yang menderita. Pikiran Rakyat menelusuri kisah pilu itu di Tasikmalaya.
Kuburan massal, makam tanpa nisan pengenal, hingga monumen tua menjadi penanda masa kelam tersebut. Kisah ini bukan untuk mengorek luka lama, tetapi menjadi pembelajaran agar peristiwa itu tak kembali terulang.
Sekilas, pepohonan kecil yang dikelilingi pagar kawat dan tembok rendah tersebut mirip sebuah taman hias yang berlokasi di Kampung Sudi, Desa Muncang, Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya.
Luasnya sekira 6 x 4 meter dengan lokasi tepat berada di tepi jalan. Di belakangnya, satu rumah besar warga berimpit bangunan Madrasah Diniyah Awaliyah Kampung Sudi. Namun, deretan tulisan yang tertera di tembok yang menghadap ke jalan menunjukkan kejadian penting nan memilukan pada masa silam.
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
Tulisan tersebut berbunyi, Kuburan Massal 27 Orang Korban Keganasan DI/TII dengan keterangan kejadian pada 17 Agustus 1957.
Rupanya lokasi itu merupakan lubang penguburan bersama jenazah warga Kampung Sudi. Bagaimana ceritanya hingga puluhan warga menjadi korban?
Pikiran Rakyat meminta keterangan sejumlah warga. Namun, informasi warga masih terbilang berupa keterangan sekunder karena mereka tak melihat langsung peristiwa.

Penuturan Erat

Kebanyakan mereka adalah generasi baru yang lahir setelah kejadian. Beberapa saksi mata telah meninggal. Jikapun masih hidup, sebagian dari saksi itu sudah sakit-sakitan dan sulit untuk mengorek keterangan dari mereka. Obrolan santai dengan warga akhirnya membuahkan petunjuk dan membawa pada pertemuan dengan Erat, perempuan tua yang tinggal tak jauh dari lokasi itu.
Erat merupakan salah satu korban selamat dalam peristiwa tersebut. Ia mengaku tak tahu tanggal lahirnya. Kerabatnya memperkirakan Erat kini berusia sekitar 85 tahun.
Dengan perkiraan itu, ia ditaksir berusia 24 tahun ketika kejadian berlangsung. Ingatannya kembali pada peristiwa kelam 61 tahun yang lalu.‎
Erat tengah beristirahat di kediamannya yang terletak di bagian selatan Kampung Sudi waktu itu. Malam baru saja tiba. Sekira pukul 20.00 WIB, usai salat Isya, keheningan kampung yang terletak di area perbukitan tersebut berubah menjadi keriuhan seketika.
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
Sejumlah orang tak dikenal dan bersenjata menyerbu pemukiman. Mereka mendobrak pintu dan tampak ampun memuntahkan peluru.
"Jeger bedil ngajeleger (terdengar suara letusan senjata)," kata Erat, Sabtu 5 Januari 2019. Ia panik dan segera mengambil anaknya untuk melarikan diri.
Rumah Erat luput dari penyerbuan karena berada di tepian perkampungan. Namun, pemandangan horor itu masih diingat Erat pada usia senjanya.
Beberapa warga lari berhamburan menyelamatkan diri. Sebagian dari mereka tertembak dan tewas. Sementara yang selamat bersembunyi di pesawahan dan balong.
Suara tembakan menyalak diiringi jeritan warga. Erat dan bayinya selamat. Sementara adiknya, Ori tertembak di bagian kuping.
Ori memang sedang tak berada di rumah. Ia berkumpul bersama sejumlah pemuda di rumah warga lain. Tak hanya tembakan, titik-titik api mulai menyala di kediaman rumah warga yang berupa rumah panggung kayu sederhana. Penembakan berlanjut dengan pembakaran rumah.
Sejumlah warga tewas mengenaskan dalam peristiwa itu. Beberapa jasad bahkan hangus terbakar. Erat menyebut para pelaku penyerangan adalah gorombolan, nama yang dilekatkan warga pada para gerilyawan DI.
Penyerangan berakhir setelah tiupan peluit terdengar. Bangunan-bangunan warga juga telah habis dilalap api.
Selepas dirasa aman, warga yang selamat kembali dan mencari-cari sanak kelurganya. Jasad-jasad yang terbakar atau tewas tertembak kemudian dikuburkan dalam satu lubang yang kini dikenal dengan sebutan kuburan massal Kampung Sudi.
Sumitra, tokoh masyakarat Kampung Sudi ikut menjadi korban dan dikuburkan di sana.
Warga tak bisa meminta bantuan kepada TNI karena pos militer  terdekat di Kecamatan Sodonghilir berjarak sekitar 6 kilometer.
Medan pegunungan dengan keterbatasan alat komunikasi membuat warga kesulitan melapor. "Bujeng-bujeng laporan da sieun (boro-boro melapor karena kondisinya takut)," ucap Erat.

Kisah Pudin

‎Cerita kelam tersebut juga masih diingat samar-samar oleh warga Kampung Sudi lainnya, Pudin (65). Pudin lolos dalam peristiwa yang membuat kedua orangtuanya, Sahdi dan Emur/Mursi tewas ditembak.
Pudin masih berusia 4 tahun waktu itu. Ingatannya serba terbatas karena kejadian berlangsung saat dia masih anak-anak.
"Yang saya ingat, saya sudah berada di belakang hawu (tungku pembakaran)," ujarnya.
Perkara kenapa ia tiba-tiba telah bersembunyi di belakang hawu, Pudin tak ingat lagi. Entah karena telah disembunyikan terlebih dahulu oleh orangtuanya atau pertolongan kerabatnya.
Ia sempat mencoba menggapai-gapai tubuh orangtuanya yang terbujur kaku. Lubang tembakan di dada terlihat pada tubuh keduanya.
Tak berhenti di sana, para pelaku mencoba membakar rumah tersebut. Tetapi mereka kesulitan membakarnya dengan alasan yang tidak diketahui.
"Tapi teu teurak ka bumi mah (tapi tidak mempan membakar rumah)," ujarnya.
Sejurus kemudian, Pudin telah dibawa seseorang menuju balong untuk bersembunyi. Pudin lolos dari maut kendati kehilangan kedua orangtuanya. Karena tak terbakar, jasad Sahdi dan Emur dimakamkan secara biasa tanpa nisan di dekat rumah.
Hingga kini, ia masih bisa mengingat desing peluru atau suara tembakan yang memekakkan telinganya saat bersembunyi.

Makam lain

Pemakaman korban lain terletak di dekat kediaman Erat. Letaknya agak tinggi di area kebun yang dinaungi pohon kelapa dan pisang. Di sana, tutur Erat, empat warga Kampung Sudi yang menjadi korban penyerangan dikebumikan.
Mereka adalah Oken, Oji, Oyoh. Satu korban lain, suami Oyoh, namanya sudah dilupakan oleh Erat. Yang sangat diingatnya, Oyoh tewas ditembak dalam kondisi tengah mengandung anaknya.
Sementara kuburan massal yang khusus menampung jasad-jasad yang terbakar itu diisi oleh tokoh-tokoh atau mereka yang dituakan masyarakat.
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
Beberapa nama yang dikuburkan di sana adalah‎ Sumirta, Saedi, Ahri, Ubi, Onoh. Ada dua versi jumlah korban yang dikubur itu. Sebagian warga menyebut kuburan massal memang berisi 27 jenazah dengan dua lokasi lain yang terpisah diisi masing-masing 2 dan 4 jasad dengan total 33 korban.
Sementara versi lain menyebut, kuburan berisi 21 jasad sedangkan 6 jasad lain ada di dua kuburan lain sehingga total 27 korban.
Peristiwa pilu masih tergores dalam memori warga Kampung Sudi. Selepas Idulditri atau hari kemerdekaan, kerabat korban dan warga menyempatkan diri berziarah dan berdoa di lokasi kuburan massal.
Peristiwa horor itu menimbulkan trauma bagi warga yang mengalaminya langsung. Hanya mendengar suara letusan ban kendaraan saja, Erat mengaku ketakutan karena teringat letusan senjata puluhan tahun lalu.
Sementara saksi mata lain ada yang enggan menghadiri peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus karena teringat momen berdarah itu.
Latar belakang apa yang membuat gerombolan bersenjata melakukan pembunuhan massal warga sipil itu?
Erat mengaku, DI memang kerap turun ke Kampung Sudi sekali dalam sepekan. Mereka mengambil makanan dan hewan peliharaan warga dengan dalih pengumpulan infak atau ghonimah.
Para pria biasanya bersembunyi ke hutan, tebing, atau rerumpunan bambu saat mereka turun ke kampung. Hanya perempuan yang tinggal di rumah. Namun, amuk 17 Agustus 1957 adalah peristiwa paling mengerikan karena disertai bumi hangus.

Cerita Nana

Nana (55), warga yang lebih muda mengungkapkan, penyebab penyerangan dan pembakaran rumah warga dilatarbelakangi tewasnya seorang anggota DI yang dibunuh petugas keamanan lokal yang dulu dikenal sebagai Organisasi Keamanan Desa (OKD).
Anggota DI itu diduga menyaru menjadi pedagang untuk memata-matai warga. Persoalannya, tak seorang pun warga Kampung Sudi yang melakukan perbuatan itu.
Pembunuhan justru diduga dilakukan warga di Kampung Sudi. Kejadian tersebut diperkirakan terjadi beberapa hari sebelum penyerangan dan bumi hangus. Dampaknya, pemukiman warga Kampung Sudi nyaris diratakan dengan tanah karena dianggap menghabisi nyawa anggota DI.
Nana banyak beroleh cerita kronologi kejadian dari orangtuanya serta saksi mata peristiwa.
‎Masa-masa konflik pemerintah dengan DI merupakan momen paling getir yang dialami warga. Tuduhan mata-mata atau bersengkokol dengan pihak yang bertikai menjadi hal menakutkan bagi warga.
Cerita unik yang beredar di kalangan warga adalah selamatnya bocah berusia 3-4 tahun bernama Uyuh. Uyuh selamat karena tertindih mayat dan dianggap mati.
WARGA berdoa di kuburan massal Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 5 Januari 2019. Sebanyak 27 warga Kampung Sudi tewas dalam penyerangan dan bumi hangus kampungnya pada 17 Agustus 1957./BAMBANG ARIFIANTO/PR
Bocah cilik itu didekap bibinya  agar tak mengelurkan gerakan yang mencurigakan. Mereka kemudian melarikan diri selepas kelompok bersenjata itu pergi.
Ternyata, nama Uyuh adalah panggilan singkatan dari uyuhan hirup karena nasib mujurnya lolos dari maut.
Warga sudah tak mengenal lagi nama asli Uyuh. Nana menambahkan, hal lain yang dingat warga-warga sepuh adalah bau mayat terbakar.
"Baunya menyengat," ujarnya. Dia memperkirakan ada 14 rumah yang dibakar di Kampung Sudi yang jumlah warganya masih terbilang sedikit.

Sekali waktu di Parentas

Suara tembakan memecah keheningan Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya pukul 00.00 WIB. Tembakan berasal dari puncak bukit Pasir Kopo yang menghajar bukit Kancah Nangkub di sebelahnya.
Para penembak tersebut menyasar pos TNI. Posisi penyerang di bukit yang lebih tinggi memudahkan mereka mengguyur pos tersebut dengan peluru. Sebaliknya, TNI hanya bisa bertahan dengan terus balas menembak lantaran posisi pertahanan mereka tak terlalu menguntungkan.
Baku tembak tersebut masih terekam dengan jelas  dalam ingatan Kasa (75), warga Kampung Sumur, Desa Parentas. Bren, sten, pistol, dan kanon berhamburan memuntahkan isinya.
‎Saat itu menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1961. Ketika hari baru berganti memasuki 17 Agustus 1961, duka harus dihadapi warga Parentas.
Para penyerang yang merupakan gerilyawan DI bukan hanya menembaki TNI. Mereka turun bukit mendatangi perkampungan warga.
‎"Tos nembak turun ka handap ngaduruk bumi (setelah menembak, mereka turun membakar rumah warga)," tutur Kasa di Kampung Sumur, Minggu 13 Januari 2019.
KASA (75), warga Kampung Sumur, Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang di kediamannya, Minggu 13 Januari 2019. Kassa kehilangan tangannya karena ditebas kelompok penyerang pada 17 Agustus 1961.*/BAMBANG ARIFIANTO/PR
Saat itu, Kasa mengaku masih berusia sekitar 7-8 tahun. Namun bila mengacu usianya sekarang, ia berumur 14 tahun ketika kejadian tersebut berlangsung.
Penyerang yang dalam bahasa warga lokal disebut “gorombolan” merangsek mendekati pos TNI yang sekelilingnya dipagari bambu dengan ujung-ujungnya yang runcing.
Upaya mereka menduduki pos gagal karena tentara tetap bertahan dan menembaki gerilyawan yang mendekat. Namun, nestapa harus dialami warga Parentas yang bermukim di bawah pos TNI.
Warga yang dianggap propemerintah dan mendapat perlindungan TNI, tanpa banyak cakap dianiaya dan ditembak DI.
"Dikadek (dibacok), ditembak," ujar Kasa.
Warga panik dan berhamburan melarikan diri. Mengharapkan bantuan tentara pun tak mungkin. Dalam taksiran Kasa, jumlah serdadu TNI yang terkepung hanya 70 orang sedangkan penyerang diperkirakan mencapai 700 orang.
Kasa kecil ikut kabur di tengah amuk gorombolan. Menurut dia, anggota DI memiliki perawakan yang tegap, tinggi, dengan menggunakan seragam loreng dan memakai helm.
Penampilan mereka tak kalah dari anggota TNI yang justru memiliki postur lebih kecil.‎ Mereka memburu warga yang melarikan diri.
Sebagian warga, termasuk Kasa bersembunyi ke area pesawahan yang padinya tengah menguning. Ia tengkurap di atas lumpur dengan tangan kiri memegangi padi dan tangan kanan tertutupi dadanya.
Naas, lokasi persembunyian Kasa diketahui para penyerang yang menyisir area pesawahan menggunakan lentera.
Tanpa banyak tanya, penyerang menghunus golok dan membacok tangan kiri Kasa yang memegang batang padi. "Dikadek abdi dua kali (saya dibacok dua kali)," ujarnya.
Mereka tak peduli korban hanya seorang bocah. Menurut Kasa, para penyerang tersebut khawatir bocah sepertinya bakal menjadi anggota organisasi keamanan desa (OKD) atau organisasi pertahanan rakyat (OPR), cikal bakal Hansip bentukan pemerintah, ketika kelak dewasa.
Kasa seketika kehilangan kesadaran. Sejam berlalu, ia siuman dengan suasana baku tembak masih terjadi.
Dengan perlahan, Kasa menggelosorkan badan dengan darah mengucur dari tangannya ke arah sawah bawah. Sarung yang digunakan menyangga tangannya berlumur darah.
Akhirnya, Ia bertemu temannya yang kemudian membantu memapahnya. Hingga serangan reda, puluhan korban dari pihak warga berjatuhan. Ada yang tewas ditembak, terkena bacokan, bahkan terbakar hidup-hidup.
Aki Irta, kakek Kasa, turut menjadi korban selepas tewas karena tubuhnya dilempar ke rumah yang terbakar. Horor di Parentas berakhir pukul 3.00 dini hari. Bunyi peluit tiga kali menandai penyerangan usai.
Mereka, kata Kasa, sempat dibariskan di Ciguntur dan kembali bergegas kembali menuju hutan selepas lengkingan peluit berbunyi sekali.
Sebanyak 51 warga meninggal. Adapun TNI yang tewas mencapai 3 orang. Beberapa anggota DI juga tewas. Seorang anggota gorombolan ditemukan mati dengan lubang tembakan di kepalanya. Rupanya ia kena tembak setelah nekad memanjat dan mencoba merobohkan pagar bambu setinggi 3 meter yang mengitari pos TNI.
Kasa meyakini, korban dari DI bukan hanya satu. Namun, para gerilyawan itu memiliki kebiasaan membawa jasad rekannya selepas pertempuran.
Hanya jasad di area pos TNI yang ditinggalkan karena untuk mengambilnya pun mesti berhadapan langsung dengan berondongan peluru para serdadu yang bertahan di sana.
Warga di kampung-kampung Desa Parentas berduka. Lima kampung tersebut adalah Kartapura, Ciguntur, Kandang, Sumur, Babakan. Korban terbanyak merupakan warga dari Kartapura.

Monumen pengingat malam horor

Kendati telah puluhan tahun berlalu, malam penuh kengerian itu masih tertanam dalam ingatan warga sepuh Parentas. Bahkan, warga membuat monumen sederhana guna memperingati jatuhnya korban jiwa dalam penyerangan itu.
Monumen tersebut terletak di dekat Puskesmas Parentas. Monumen itu bertuliskan beberapa kalimat dalam bahasa Sunda “Bumi Ieu Anu Nyaksi Getih Suci Nyiram Bumi Lima Puluh Hiji Jalmi Rampak Lastari Sawengi 17 Agustus Genep Hiji Ku Kabiadaban DI/TII” (bumi/tanah ini menjadi saksi 51 warga yang tewas akibat kebiadaban DI/TII).
MONUMEN korban di Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Minggu 13 Januari 2019. Sebanyak 51 warga Parentas tewas dalam penyerangan dan bumi hangus di wilayahnya pada 17 Agustus 1961.*/BAMBANG ARIFIANTO/PR
MONUMEN korban di Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Minggu 13 Januari 2019. Sebanyak 51 warga Parentas tewas dalam penyerangan dan bumi hangus di wilayahnya pada 17 Agustus 1961.*/BAMBANG ARIFIANTO/PR
Malam horor tersebut juga membuat warga Parentas kehilangan tempat tinggalnya. "Satu desa, tidak satu pun bangunan warga yang berdiri, jadi arang semuanya," ucap Kasa.
Warga lalu memilih mengungungsi ke Garut. Jejak ngeri malam itu lebih terasa bagi Kasa. Tangan kirinya diamputasi saat dia menjalani perawatan di rumah sakit di Garut. Hingga masa tuanya, Kasa tetap bertani meskipun hanya mengandalkan satu tangan saat bekerja.
Kasa masih ingat beberapa nama warga yang menjadi korban. Mereka adalah Aki Irta, Wak Encum, Rukiah.

Dualisme pemerintahan desa

Musabab penyerangan, kata dia, karena DI ingin menguasai wilayah Parentas yang telah dijaga TNI dengan menempatkan pos.
Keinginan menguasai Parentas bisa dipahami mengingat desa itu merupakan sumber logistik para gerilyawan yang bersembunyi di hutan dan perbukitan di kawasan perbatasan Tasikmalaya dan Garut.
Bahkan, Parentas pernah memiliki dua struktur pemerintahan desa, masing-masing versi Pemerintah RI dan DI. Desa Parentas versi Pemerintah RI memiliki Lurah bernama Endang. Sementara Lurah DI adalah Sarbeni. DI juga memiliki Camat Cigalontang bernama Uleh dalam struktur pemerintahannya.
Persoalan dualisme struktur kepemimpinan desa hingga kecamatan merupakan kondisi yang terjadi di kawasan Priangan Timur.
Desa-desa pun terbelah lantaran ada yang mendukung Pemerintah RI dan DI. Kasa menilai, warga Parentas lebih pro kepada pemerintahan Sukarno-Hatta ketimbang Imam DI, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Kartosuwiryo/DOK. PR
Apalagi, TNI juga membangun pos sederhana berupa saung dengan atap ijuk di puncak salah satu bukitnya.
Pada masa itu, dianggap mendukung salah satu pihak saja, risikonya menjadi musuh kubu yang berlawanan. Bumi hangus dan pembunuhan menjadi risiko yang mesti diterima warga yang terkadang tak tahu menahu persoalan konflik tersebut.
Aksi saling bunuh lumrah terjadi seperti yang dialami Sarbeni, Lurah DI Parentas. Sarbeni dikenal sebagai tukang tunjuk warga-warga yang dianggap melawan atau membangkang kepada DI.
Ia memfasilitasi pemungutan atau pengambilan makanan, ternak, dan padi milik warga untuk dibawa kepada para gerilyawan.‎
Sekali tunjuk atau lapor adanya warga yang membangkang kepada pasukan DI, yang bersangkutan dipastikan akan kehilangan nyawanya. Warga terutama kaum pria memilih mengungsi ke lokasi aman setiap menjelang sore.
Mak Enung (53), punya cerita terkait kebiasaan Pak Emo, ayahnya yang saban sore mengungsi ke Kampung Tajur yang masuk wilayah Garut.
Emo merupakan ketua RT di Parentas.‎ Tak heran, ia menjadi incaran DI melalui Sarbeni. Selain Sarbeni, para pendukung DI adalah Ahimi, Ajo, Kundik.
"Setelah Magrib, (Pak Emo) sudah berangkat membawa buntelan butut," ujar Enung.
Nasib Sarbeni dan kawan-kawannya berakhir tragis setelah kepergok mencuri padi oleh Ahi, anggota OPR.
Ahi melapor kepada tentara yang kemudian mendapati Sarbeni dan ketiga temannya tengah menumbuk padi hasil curian itu. Sang tentara menembak mati Ahimi, Ajo, Kundik di lokasi itu.
Sementara Sarbeni yang masih dibiarkan hidup juga meminta dia ditembak. Permintaan lurah itu dikabulkan. Mereka dikuburkan di lokasi penembakan itu.

DI/TII dan persoalan pendanaannya

Konflik antara Pemerintah RI dan DI/TII berdampak pada jatuhnya korban jiwa dari masyarakat di kawasan Priangan Timur.
Sejak Proklamasi DI/TII berkumandang di kawasan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949 konflik bersenjata terbuka pun terjadi.
Proklamasi dilakukan selepas pemerintah menyepakati perjanjian Renvile dengan Belanda. Perjanjian itu dianggap merugikan warga Jawa Barat yang ditinggalkan TNI untuk berhijrah ke wilayah Republik di Yogyakarta.
Di mata petinggi DI, Pemerintah Sukarno-Hatta sudah tak berdaulat lagi di Jabar.
Kendati DI/TII pernah meraih banyak kemenangan, kehancuran gerakan ini sudah bisa diperkirakan. Demikian tulis Solahudin dalam bukunya, NII Sampai JI Salafy Jihadisme Di Indonesia.
Solahudin menyebut kehancuran DI lantaran mereka tak mempunyai sumber dana yang memadai. "Tak ada bantuan dari pihak manapun sehingga sumber pemasukannya yang utama berasal dari berbagai pungutan di masyarakat, mulai yang bernama infak hingga ghonimah dan fa'i," ujar Solahudin dalam tulisannya.
Masyarakat pendukung DI/TII harus menyerahkan infak sebesar 2,5 persen dari penghasilan. Sementara ghonimah ialah harta rampasan perang dan fa'i adalah barang-barang rampasan musuh tidak melalui pertempuran.
Pencarian dana juga dilakukan DI dengan masuk ke desa-desa malam hari untuk menagih infak kepada warga. Jika tak mau membayar, harta warga dirampas. Selain merampok, mereka sering menghancurkan rumah warga, fasilitas umum dan membunuh.

Penyerangan-penyerangan

Solahudin mencontohkan kondisi yang terjadi di wilayah Priangan Timur pada 1956. September tahun itu, DI melakukan penyerangan selama 17 hari di wilayah Tasikmalaya serta membakar 254 rumah, 2 masjid, dan 1 sekolah.
November 1956, pasukan DI/TII berkekuatan 320 orang menyerang Terayu lalu membakar 100 rumah. Di Priangan Timur dalam waktu sepekan mereka menghabisi nyawa 20 warga dan membakar 373 rumah.
Total korban di daerah Priangan Timur mencapai 224 orang dan 2.044 rumah dibakar sepanjang 1956.
Solahudin mengutip data tersebut dari penelitian Holk Dengel yang dibukukan dengan judul Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan Yang Gagal.
Akibat tindakan tersebut, dukungan masyarakat menipis terhadap gerilyawan DI. TNI dengan mudah menarik simpati masyarakat yang sebelumnya menjadi ladang pasokan logistik DI.
Bahkan, warga terlibat dalam operasi pagar betis untuk mengisolasi para gerilyawan pada 1960. Pada tahun itu, TNI menewaskan 1.035 serdadu DI, menawan 213 tentara, serta merebut 342 senjata.

Akhir cerita

Akhirnya, Kartosoewirjo dicokok TNI di lembah Gunung Sangkar dan Geber di kawasan Bandung Selatan pada 4 Juni 1962.
Tertangkapnya Kartosoewirjo menamatkan kisruhnya Jawa Barat akibat konflik itu. Jumlah korban selama konflik bersenjata berlangsung mencapai 22.895 jiwa baik terluka, terbunuh, dan diculik, serta kerugian negara mencapai Rp 650 juta masa itu.
Lalu, jika benar pelaku penyerangan dan pembantaian warga Parentas dan Muncang adalah DI, apa latar belakangnya?
Secara umum, Solahudin berpendapat, Kartosoewirjo memang menganut faham takfiri yakni mengkafirkan orang di luar kelompoknya.
Sikap tersebut tampak pada Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia (UUHPNII) yang diterapkan DI/TII.
UU tersebut membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu umat negara Islam dan umat penjajah. Penolakan terhadap pemerintah DI berkonsekuensi masyarakat ikut diperangi kendati berstatus muslim.
Pendapat lain dikemukakan George McTurnan Kahin dalam bukunyaNasionalisme & Revolusi Indonesia. Ia menilai, Kartosoewirjo dan pimpinan DI lain sering kali dan makin lama makin tidak dapat mengawasi kegiatan-kegiatan dari banyak bawahan mereka yang sipil maupun militer.
"Begitu organiasi Negara Darul Islam hancur, para pemimpin sipil dan militer setempat makin lama menjadi makin bebas. Kewajiban yang dipikulkan kepada kaum petani makin lama makin menjadi keharusan yang dipaksakan," ujar Kahin dalam tulisannya.
Bila menolak peraturan dan permintaan mereka akan bahan pangan dan pelayanan, sering kali kaum petani menderita kekejian berdarah.
"Kerja sama kaum petani dengan DI semakin lama makin berdasarkan terorisasi bukan dukungan yang diberikan atas dasar nasionalisme atau agama," tutur Kahin.

Didalangi PKI?

Pendapat lain dilontarkan pengamat terorisme Al Chaidar. Ia menolak DI sebagai dalang pembantaian yang menimpa warga sipil.
Menurut dia, warga yang tak berbait kepada DI tak dihukumi bughot atau orang-orang yang tunduk kepada hukum DI.
Bila masuk kategori bughot, hukumannya adalah dibuang dan hukum mati. Al Chaidar menyebut warga yang tak mau tunduk hanya disebut jahiliyah. Bahkan, warga yang tak bisa memberikan harta, barang guna perjuangan DI pun tak diperangi.
Menurut dia, tentara DI juga tak boleh menembak warga sipil. Terkait doktrin takfiri DI, Al Chaidar turut menampiknya.
"Dia (DI) bukan kelompok takfiri bahkan cenderung tradisional (pemahaman keislaman tradisional)," ujarnya saat dihubungi, Rabu 30 Januari 2019. Ia mengklaim Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan pembantaian warga di Jabar  untuk merusak nama DI.
Ia mengaku memiliki bukti mengenai tudingan itu. Persoalan bahwa PKI di Jabar yang tak terlalu berkembang ketimbang Jawa Timur dan wilayah lain, tak dijelaskan Al Chaidar.
Padahal, korelasi tersebut cukup penting untuk mengukur kemungkinan PKI menyusup untuk merusak citra DI yang lebih menonjol di tatar Sunda.
Akan tetapi, siapa pun pelakunya, masyarakatlah yang menjadi korban sesungguhnya dari konflik tersebut. Konflik DI dan Pemerintah RI menjadi cermin agar peristiwa serupa dengan tumpahnya darah warga tak terulang lagi.***
Bagikan:   

bangsat

 goblok